REDAKSIONE - Indonesia mengalami darurat korupsi. Bahkan, kasus korupsi beberapa kali menjadi tajuk utama di negeri ini, sebagian besar diduga melibatkan para pejabat tinggi.
Bagaimana korupsi itu bermula di Indonesia hingga separah sekarang?
Jenderal Soemitro percaya di era kemerdekaan hampir tidak ada kasus korupsi. Saat itu, semua pajak yang disematkan dalam setiap perdagangan, baik ekspor maupun impor disesuaikan dengan nilai barang yang dikirim. Besaran nilai ditentukan oleh pemerintah daerah setempat.
Soemitro yang saat itu menjadi salah satu pembantu Jenderal Moersyid pada 1964-1965 memperhatikan arus ekspor tengkawang di Pontianak, Kalimantan Barat. Tengkawang biasanya digunakan sebagai bahan kosmetik.
Usai tragedi gerakan 30 September, dan Orde Baru berkuasa, kebijakan berubah. Kebijakan ekspor tak lagi dipegang daerah, melainkan pemerintah pusat. Kondisi ini menyebabkan perpindahan besar-besaran kantor pusat yang bermula berada di daerah ke Jakarta. Termasuk kantor pusat pengekspor tengkawang.
Dalam kebijakan awal, perizinan ekspor impor barang harus dilakukan di Jakarta. Kondisi ini membuat sejumlah perusahaan membangun kantor cabang di ibu kota. Namun, pemerintah Orde Baru memutuskan mengubah sistem perpajakan di mana perhitungan pajak ditentukan sepenuhnya oleh pusat.
"Dengan demikian, kalau di daerah perhitungan dilakukan berdasarkan realita ekspor, berdasarkan hasil nyata. Setelah kantor eksportir tengkawang tersebut di Jakarta perhitungan cuma berdasarkan angka-angka di kertas, fiktif," ungkap Soemitro dalam bukunya 'Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib' yang ditulis Ramadhan FK terbitan Pustaka Sinar Harapan tahun 1994.
Itulah yang menjadi awal mula korupsi, kebijakan yang sebelumnya didasarkan kepada daerah masing-masing diubah dengan sistem sentralistik. Kondisi itu menyebabkan terjadinya kongkalikong antara pengusaha dan birokrat agar cepat merealisasikan permintaan mereka.
"Kalai si eksportir tengkawang itu harus membayar Rp 100 juta, pikirnya, mengapa tidak membayar Rp 25 juta saja ditambah memberi Rp 10 juta ke orang yang dari kantor pajak itu. Perhitungannya seperti itu bisa menambah untungnya Rp 60 juta," bebernya.
Tak hanya itu, korupsi yang menjangkiti pejabat maupun PNS di negeri ini terjadi akibat adanya perubahan gaya hidup akibat overcentralistic atau sentralistik yang berlebihan. Di mana setiap orang terdorong menjadi konsumerisme dengan berdirinya berbagai pusat perbelanjaan, serta tingginya keinginan untuk memiliki sesuatu.
Soemitro juga menyebut, gara-gara sentralistik ekspor tradisional yang biasanya dilakukan secara turun menurun oleh masyarakat adat menjadi mati. Seperti yang dialami pengekspor kacang kedelai asal Aceh, tidak bisa lagi menjual barangnya ke Penang, Malaysia.
Kondisi ini juga menyebabkan pengusaha tersebut terpaksa menemui pegawai negeri di Jakarta untuk mengajukan izin ekspor. Alhasil, pegawai tersebut memanfaatkannya dengan meminta 'uang jasa'. Di saat bersamaan pembangunan di Jakarta semakin cepat, ditambah semakin menjamurnya properti mewah, bioskop hingga pusat perbelanjaan.
Budaya feodal juga diyakini masih mengikat sebagian besar masyarakat. Ketika pejabatnya korupsi, tindakan serupa juga diikuti bawahannya. Alhasil, pengawasan tidak bisa dilakukan karena atasannya keburu merasa berdosa. Korupsi yang dilakukan pusat juga diikuti daerah.
"Ternyata benar sinyalemen Bung Hatta bahwa korupsi mulai membudaya di Indonesia," tambah pria yang sempat menjadi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ini. Di era Orde Baru, jabatan inilah yang paling ditakuti siapa pun.
Pegawai yang sebelumnya hanya berniat memiliki rumah kontrakan, kini bisa membeli satu bahkan lebih. Rising demand ini juga menyebabkan praktik kolusi antara pengusaha, birokrat dan politikus akibat proyek-proyek yang seluruhnya ditangani kekuasaan.
"Saya saksikan itu semua dan saya membencinya. Menurut pendapat saya, kesalahan bidang politik lebih terhormat daripada kesalahan karena korupsi."
WHAT'S NEW?
Loading...
0 komentar:
Posting Komentar