Murid SD zaman sekarang sih enak, bisa menuntut ilmu di sekolah yang berkualitas dan mendapatkan dukungan dari produk teknologi yang canggih. Meskipun sudah memperoleh banyak fasilitas yang istimewa, tidak sedikit murid SD masa kini yang malas belajar dan lebih suka bermain atau berselancar di internet.
Dulu ketika generasi 90-an seperti kami ini melalui masa-masa Sekolah Dasar, tak ada yang namanya fasilitas istimewa untuk menunjang kegiatan belajar mengajar. Masa kecil kami yang penuh keterbatasan tak menghalangi kebahagiaan dan ketekunan kami dalam perjalanan meraih cita-cita.
Diantara sekian banyak kenangan ala generasi 90-an yang ada di kepala kami, 8 kenangan berikut ini bisa sedikit menjelaskan masa kecil kami yang indah dan penuh warna :
1. Belajar menulis sambung, alamak susahnya
Masih ingat ketika bapak ibu gurumu mengajarkan tulisan sambung kepadamu?
Generasi 90-an sepertinya tak asing dengan pelajaran menulis sambung. Buku tulis bergaris tiga akan jadi senjata andalan untuk belajar menulis sambung di kelas. Menulis sambung itu kelihatannya sangat remeh tapi ternyata banyak memberikan manfaat bagi generasi 90-an.
Demi menulis sambung secara rapi, latihan untuk menahan emosi dan rasa terburu-buru harus dilakukan secara konstan. Kalau tulisan sambungmu sudah mulai miring ke kanan dan ke kiri waktu sampai di baris-baris terakhir, biasanya kalimat sakti dari gurumu yang bisa membuat kamu tersipu malu adalah �ih, tulisannya kok anget-anget tai ayam�.
2. Bahagia itu sederhana, cukup bermain bola di lapangan beralaskan tanah
Murid SD di era modern ini tampaknya tak bisa menikmati kenikmatan duniawi yang satu ini. Ya, bermain bola di lapangan yang beralaskan tanah berumput adalah kebahagiaan hakiki yang kami miliki semasa kecil.
Lapangan dengan alas tanah tersebut begitu empuk dan nyaman untuk dipijak. Dikala musim hujan datang, aroma tanah yang terguyur oleh air hujan akan memanjakan hidung kami saat bermain bola. Saat sekujur tubuh mulai ternodai oleh cipratan lumpur dari lapangan tanah, maka saat itu pula keseruan bermain bola semakin memuncak.
So, selamat menikmati lapangan beton kalian yang gersang dan berdebu, generasi modern!
3. Halo Om, Adinya Ada?
Menghubungi teman sekarang bisa dilakukan dengan mudah, ya. Cukup pencet-pencet layar touchscreen sebentar, maka pesan yang diketik di aplikasi chat bisa segera meluncur ke smartphone temanmu.
Namun kamu generasi 90-an dulu belum bisa melakukan hal seperti itu!
�Halo�
�Halo, selamat sore.�
�Maaf, ini dari siapa ya?�
�Ini dari Sari, om. Bisa bicara dengan Adi? Sari mau tanya PR matematika, om.�
�Oh, Sari ya. Tunggu bentar ya, Sar.�
Aktivitas menelepon ke rumah teman untuk menanyakan PR atau materi ulangan adalah salah satu aktivitas yang sering kami lakukan dulu. Tampaknya menelepon ke rumah teman itu sepele, tapi dari situlah terjalin hubungan persahabatan yang akrab dan seru antar satu murid dengan murid lainnya.
Tak jarang menelepon untuk menanyakan pelajaran itu hanya jadi kedok untuk bisa bergosip di sore hari. Dari kebiasaan bergosip lewat udara, secara tak langsung kami belajar untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua. Kalau yang pertama kali mengangkat telepon adalah orang tua teman kami, maka pembicaraan yang sopan seakan jadi password untuk bisa berbicara dengan teman kami.
4. Semeja berdua, bukan romantis melainkan takdir
Meja kayu yang bentuknya lebar juga jadi teman akrab bagi murid-murid SD generasi 90-an. Dibilang lebar, sebenarnya tidak juga sih. Lebarnya kurang lebih 90 cm dengan tinggi yang disesuaikan dengan kebutuhan murid SD. Ada yang memiliki alas laci, namun ada pula yang tidak.
Kehebohan akan mulai terjadi ketika kami dan teman sebangku kami sedang marahan satu sama lain. Penggaris plastik 30 cm biasanya pembatas �wilayah kekuasaan� kami masing-masing. Tak jarang pula kami merasa kesempitan karena �meja romantis� tersebut tak bisa menampung buku-buku kami yang jumlahnya terlalu banyak dan berserakan.
Si murid yang duduk di sisi kiri juga harus rela kalau buku catatan atau kertas ulangannya ternodai dengan coretan-coretan tak sengaja akibat gerakan akrobat sang teman sebangku. Sebagian besar generasi masa kini mungkin tak akan mengalami pengalaman itu lagi.
Sebab murid SD zaman sekarang lebih terbiasa duduk sendiri-sendiri atau mungkin tetap duduk berdua dengan meja kayu yang terpisah. Meja kayu sepanjang 90 cm itu memang kerap menyusahkan kami di kelas, tapi meja itulah yang membuat kami punya kedekatan batin dengan teman sebangku kami di SD.
5. Menghafalkan lagu daerah, masih zaman ya?
Masih ingat dengan buku berisi lagu-lagu daerah dari seluruh penjuru Indonesia?
Bukunya berukuran kecil, kira-kira hanya setengah dari buku pelajaran biasa. Sampulnya berwarna biru langit dengan gambar bernuansa relief candi di bagian kiri. Buku lagu daerah tersebut akan mulai dibolak balik hingga kumal jika pelajaran Kesenian sudah dimulai.
Menghafalkan lagu-lagu daerah dan menyanyikannya di depan kelas adalah jalan yang harus dilalui untuk bisa mendapatkan nilai mata pelajaran Kesenian. Biasanya lagu daerah yang kami hafalkan akan tergantung dari daerah asal wali kelas atau guru kesenian yang mengajarkannya.
Guru yang berasal dari daerah timur Indonesia akan mengajarkan banyak lagu-lagu daerah dari Maluku, Irian Jaya, NTT dan NTB. Sementara guru yang berasal dari tanah Jawa akan banyak mengajarkan lagu dari Jawa Tengah atau Jawa Timur.
Walaupun guru kami berasal dari beragam daerah di Indonesia, biasanya lagu Ondel-ondel atau Kicir-kicir akan tetap jadi �lagu kebangsaan� di pelajaran Kesenian.
6. Merinding disko saat antre untuk disuntik
Guru-guru kami rupanya sangat peduli dengan kesehatan kami. Tak cuma memperhatikan perkembangan kecerdasan kami, mereka juga bekerjasama dengan tim medis untuk mengadakan acara suntik menyuntik di sekolah. Penyakit yang tertangkal juga sangat beragam, mulai dari tetanus hingga campak dan cacar.
Merinding rasanya sekujur tubuh saat harus antre menunggu giliran untuk disuntik. Tingkat kemerindingan tersebut akan berbanding lurus dengan besarnya nomor antrean yang kami dapatkan. Suara mengaduh atau tangisan di wajah teman-teman kami membuat kami semakin bergidik ngeri dari menit ke menit. Setelah jarum suntik resmi mendarat di lengan kami, maka kami sudah tahu kalau teriakan atau tangisan itu sudah tak bisa dihindari lagi.
7. Nonton film dari proyektor yuk !
Proyektor yang digunakan untuk menonton film saat kami masih SD ukurannya sangat besar dan tampak usang. Rona kebahagiaan tak bisa kami sembunyikan ketika bapak dan ibu guru mengajak kami berkumpul di ruangan serbaguna sekolah untuk menonton film yang diputar dari proyektor.
Ketika lampu ruangan sudah dimatikan, rasa seru itu akan mencapai puncaknya. Kendati kami dulu belum bisa memutar film sesuka hati dari Youtube, tapi acara menonton film dari proyektor sudah cukup memuaskan hasrat kami.
Film yang diputar sebenarnya tidak beragam mulai dari film tentang pelajaran kesehatan atau film religi yang menanamkan nilai moral. Biarlah kami tak menikmat tayangan streaming di masa kecil, karena kami tetap bisa belajar dengan cara kami sendiri.
8. Besok dandan yang rapi ya, kita mau foto kelas
Di tahun 90-an belum ada teknologi smartphone atau kamera digital yang ukurannya mungil dan mudah digenggam. Sehingga pada masa itu tak heran kalau kegiatan berfoto seakan jadi sesuatu yang sakral untuk mengabadikan momen berharga. Bapak dan ibu guru akan memberikan pesan yang kira-kira bunyinya begini,
�Besok dandan yang rapi ya, kita mau foto kelas. Jangan lupa bawa dasi sama iket pinggang besok biar makin cakep waktu difoto.�
Malu rasanya kalau membuka kembali album foto dan menemukan foto kelas yang bernuansa kuno itu. Meski memalukan, lembaran foto itu akan jadi satu-satunya kenangan yang bercerita seputar masa kecil yang bahagia.
Dari masa kecil yang penuh keterbatasan itu, kami kini beranjak jadi seorang dewasa yang siap menghadapi dunia. Terima kasih masa-masa SD yang sederhana, kami akan terus mengenangmu sebagai kenangan manis. Sekarang saatnya kami melakukan gerakan �menolak tua� supaya semangat yang tak padam akan membawa kami mendulang kesuksesan !
WHAT'S NEW?
Loading...
0 komentar:
Posting Komentar